4.1. AKSIOLOGI: Pengantar


Manakala Ontologi mencoba menjawab what it is, Epistemologi menjawab how to get there, maka persoalan utama Aksiologi adalah what for.

Aksiologi berasal dari kata Yunani aksion: nilai.  Dalam konteks ini, yang dimaksud adalah  pilihan nilai-nilai etis dan moralitas  atas penggunaan  Ilmu Komunikasi.    Karenanya, hakikat pertanyaan yang ingin dijawab adalah: untuk apa Ilmu Komunikasi digunakan?    

Bagian ini saya buka dengan membahas konsep-konsep dasar etika. Tujuannya adalah untuk memahami dasar tindakan manusia dalam berkomunikasi, yang dalam perkuliahan kita sebut tindak komunikasi,  sehingga  dapat dilakukan penilaian etis terhadapnya.   

Secara kurikulum perkuliahan, aplikasi Aksiologis Filsafat Ilmu Komunikasi ini   akan Anda temui dalam matakuliah Etika Keilmuwan dan Kode Etik Profesi  semisal Kode Etik Kehumasan, Kode Etik Jurnalistik, atau Kode Etik Periklanan sesuai peminatan Anda masing-masing.

Maka, mari kita  mulai membahas aspek Aksiologis Filsafat Ilmu Komunikasi  ini.

Selanjutnya:  4.2. Etika dan Moral 



4.2. Etika dan Moral



Etimologis, etika berasal dari kata Yunani: ta etha,  bentuk jamak dari ethos, berarti adat kebiasaan.  

Dari kata ini terbentuk istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Kata “moral” berasal dari bahasa Latin: mos (jamak: mores), yang berarti kebiasaan, adat. Jadi, etimologis, kata “etika” sama dengan kata “moral”; keduanya berarti adat kebiasaan.   

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), etika memiliki tiga arti:  

  • ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 
  • kumpulan azaz atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 
  • nilai mengenai tindakan yang benar dan salah yang dianut suatu golongan masyarakat. 


Pengertian kedua dari KBBI di atas tertuang dalam kajian kode etik profesi, misalnya:  Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik Humas, atau kode Etik Periklanan. 

Namun dalam konteks aksiologi dan dalam pembahasan selanjutnya,  kita akan berfokus  pada pengertian ketiga dan pertama dari KBBI,  dimana istilah etika dan moral terkadang saling dipertukarkan.

Selanjutnya: 4.3. Tindakan Sengaja 
Sebelumnya: 4.1. AKSIOLOGI: Pengantar

4.3. Tindakan Sengaja


Manusia dinilai oleh manusia lain melalui tindakannya. 

Tindakan seorang manusia sangat beragam, misalnya dapat dilihat dari cara berjalan yang indah dan anggun.   Penilaian seperti ini disebut penilaian estetis (nilai keindahan). 

Tindakan manusia juga dapat dilihat berdasarkan cara makan atau berpakaian, dan ini terkait penilaian etiket (nilai tatakrama kesopanan). 

Tindakan manusia juga bisa dilihat dari baik buruknya. Jika tindakan manusia dinilai atas hal ini, dan itu dilakukan dengan sadar atas pilihan, atau dengan perkataan lain: sengaja; maka faktor kesengajaan   menjadi penentu penilaian baik-buruk. Penilaian seperti ini  disebut penilaian etis atau moral.  

*
Orang yang dalam tidurnya mendengkur  tidak dikatakan mendengkur dengan sengaja. Seandainya ia dapat memilih, ia lebih suka tidak mendengkur –  kecuali ia mendengkur dengan sengaja, dengan motif komunikasi: menunjukkan pada orang di sekitarnya bahwa ia sedang tertidur nyenyak. 

Begitu pula jika berada dalam keadaan memaksa, yaitu dalam suatu situasi dimana ia tidak sengaja, melainkan terpaksa. Misalnya, jika pengemudi menabrak seseorang yang sekonyong-konyong menyeberang jalan, membuat pengemudi tidak sempat mengerem atau mengelak. Maka, ia berada dalam keadaan terpaksa: situasi tidak memungkinkannya melakukan pilihan – terkecuali ia memang berencana menabrak orang itu, dengan motif membunuh: menghilangkan  dengan sengaja nyawa orang yang tidak disukainya.   

Penguakan motif komunikasi menjadi tugas ahli komunikasi, penguakan motif membunuh menjadi tugas kepolisian atau ahli hukum. 

Jadi, tugas etika  adalah menguak kesengajaan untuk menilai moralitas baik-buruknya suatu tindakan. 

*

Pada bagian Ontologi kita telah menurunkan definisi Ilmu Komunikasi sebagai ilmu yang mempelajari  usaha penyampaian pesan antarmanusia.  
  • Antarmanusia, artinya:  ilmu ini hanya mengkaji komunikasi antarmanusia dan tidak mengkaji selain daripada antarmanusia.  
  • Penyampaian pesan, artinya: yang dikaji ilmu ini adalah tindakan manusia dalam penyampaian pesan dan semata-mata hanya pesan; selain penyampaian pesan bukan merupakan obyek kajiannya.  
  • Usaha, artinya:  pesan yang disampaikan dilatari dengan kesengajaan, adanya motif komunikasi.  
Dalam konteks Aksiologi, unsur kesengajaan penting untuk melakukan penilaian etis. Tanpa kesengajaan, tidak ada penilain etis terhadapnya. 

Itulah sebabnya saya memilih berpijak pada Paradigma-3: pesan disampaikan dengan sengaja, namun derajat kesengajaan sulit ditentukan.


Selanjutnya: 4.4. Lebih Jauh tentang Kesengajaan  
Sebelumnya: 4.2. Etika dan Moral 



4.4. Lebih Jauh tentang Kesengajaan


Dalam kacamata etika, tanpa kesengajaan  tidak ada penilaian baik-buruk. 

Kesengajaan menuntut adanya pilihan,  berarti:  adanya penentuan dari pihak manusia  untuk memilih,  bertindak atau tidak bertindak. 

Jadi   bila ingin melakukan penilaian etis, harus ada kehendak dalam memilih. 

Para filsuf menyebutnya dengan istilah  "kehendak bebas"  (free will)

 Hakikatnya, terdapat dua aliran filsafat menyangkut kehendak bebas,  yakni 
  • Determinisme yang tidak mengakui adanya kehendak bebas dan 
  • Antideterminisme yang mengakui adanya kehendak bebas. 

Sebelumnya: 4.3. Tindakan Sengaja



4.5. Determinisme: Tidak Ada Kehendak bebas


Aliran ini menyatakan tidak ada kehendak bebas, segalanya telah tertentukan:  setiap materi alam harus tunduk pada hukum alam. 

Hukum itu ada pada benda alam demi kodratnya; merupakan kebiasaan atau sifat tertentu dalam situasi tertentu, misalnya hukum grafitasi bumi: setiap benda pasti jatuh ke bawah.   

Dengan hukum alam,   jalan peluru dapat  diperkirakan asal diketahui kekuatan dan cara menembaknya.  

Karena menyangkut materi alam, lazim disebut Determinisme Materialistis

Di Jerman, materialisme dirumuskan Feuerbach (1804 – 1872). Ia menyatakan, manusia adalah benda alam, pengetahuannya ialah pengalamannya, arah tujuannya adalah alamnya. Alam itu tertentukan. 

Dalam perkembangannya, konklusi Determinisme Materialistis dapat dilihat pada ajaran  Marxisme dari Karl Marx (1818-1883), yang menyatakan  hidup manusia tertentukan oleh keadaan ekonomi. Segala hasil tindakan manusia tidak lain dari endapan keadaan,  dan keadaan itu ditentukan oleh sejarah.   

Dalam agama, berkembang Determinisme Religius. Tuhan mahakuasa, kekuasaan-Nya tidak terbatas oleh apa pun.  Tingkah laku manusia tertentukan oleh Tuhan,  dan semua kejadian di dunia ditentukan oleh-Nya. Kalau pun ada kehendak bebas pada manusia, kebebasan itu tertentu dan terbatas, sehingga memilih sebagai hakikat kebebasan yang sesungguhnya tidak pernah ada.

Dalam Psikologi, terdapat tiga teori Determinisme yang diterima secara luas, sendiri-sendiri atau kombinasi, untuk menjelaskan sifat manusia.  
  • Determinisme Genetis menyatakan, kakek-nenek Andalah yang berbuat begitu kepada Anda. Itulah sebabnya Anda memiliki tabiat seperti ini. Kakek-nenek Anda pemarah,  dan kini DNA itu ada pada Anda. Anda tidak punya pilihan, maka Anda adalah pemarah juga. Jadi, yang salah adalah kakek-nenek Anda. 
  • Sementara itu, Determinisme Psikis menyatakan,  Anda seperti ini karena begitulah orangtua Anda mendidik sejak kecil dulu.  Anda tidak punya pilihan, jadi beginilah Anda sekarang ini, dan itu kesalahan  orangtua ketika mendidik Anda.  
  • Determinisme Lingkungan mengatakan, Anda seperti sekarang ini karena lingkungan Anda.  Anda tinggal di kalangan penyamun, maka jadilah Anda seorang penyamun.
Sebelumnya: 4.4. Lebih Jauh tentang Kesengajaan