4.13. Eudominisme

Jika dirunut ke belakang, akar pemikiran eudominisme  dapat ditemui pada Aristoteles (384 – 322 sM),  tertuang dalam Ethika Nikomakeia.

Dalam kegiatannya, demikian Aristoteles,  setiap manusia mengejar tujuan akhir dan terbaik bagi hidupnya, yaitu  kebahagiaan: eudaemonia.  Dari sinilah akar kata eudominisme.  Tapi, tidak ada ukuran kebahagiaan yang sama bagi setiap individu.  Ada yang mengatakan bahwa kebahagiaan adalah kesenangan fisik atau materi  –   maka ia hedonis juga,  misalnya dengan berpendapat uang dan kekayaan adalah kebahagiaannya. Atau, mungkin kedudukan.

Namun Aristoteles mengingatkan,  itu semua adalah semu dan bukan tujuan akhir yang ingin dicapai.  Tujuan akhir pemain suling adalah bermain suling dengan baik. Tujuan akhir tukang sepatu adalah membuat sepatu yang baik. Jika manusia menjalankan fungsinya dengan baik, ia akan mencapai tujuan akhirnya untuk menjadi manusia yang baik, dan  itulah kebahagiaan hakiki, kesenangan rohani.  Inilah fungsi khas manusia,  yang membedakannya  dengan hewan.

Aristoteles berpendapat, terdapat dua keutamaan manusia dibandingkan makhluk lain, yaitu  keutamaan intektual (akal) dan keutamaan moral (budi). Keutamaan intelektual menyempurnakan langsung rasio itu sendiri. Dengan keutamaan moral,  bersama nalar,  menjalankan pilihan-pilihan yang perlu diadakan dalam hidup sehari-hari.

Aristoteles berpendapat, manusia  adalah baik dari segi moral  jika selalu mengadakan pilihan-pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual. Orang seperti itu adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan.

*

Dalam konteks ini,   bagian Ontologi  kita memang agak  Aristotelian, walau  dengan pemaknaan yang tidak persis sama.   Pemkikiran kita di sini  menyatakan,  tujuan hidup setiap manusia adalah  memperoleh kebahagiaan.

Didorong hatinurani, akal, budi, dan naluri – utamanya naluri kebahagiaan – manusia menyusun konsepsi kebahagiaan pada berbagai bidang kehidupan: keluarga, karier/pekerjaan, hobi/kesenangan, pendidikan, dan lain-lain. Pada setiap bidang atau peran kehidupan itu,  didukung akal dan budi yang berkembang sepanjang hidupnya, manusia menetapkan nilai-nilai kebahagiaan: kesatuan nilai-nilai yang menurut manusia pemiliknya paling agung yang jika  diwujudkan ia yakin akan memperoleh kebahagiaan,  yakni  yang  dimaknai sebagai falsafah hidup sebagaimana telah dikupas sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar