Selain
free will, adalah isue lain yang juga mencuat dalam konteks
Aksiologi, yakni adanya tuntutan bahwa Ilmu Pengetahuan harus bebas nilai (free
values).
Tuntutan
free values meminta pengembangan Ilmu Pengetahuan semata demi Ilmu
Pengetahuan itu sendiri. Bahwa Ilmu Pengetahuan harus dikembangkan tanpa
terikat pada nilai-nilai (moral) di luar Ilmu Pengetahuan.
Menurut
pandangan ini, sah saja seorang Ilmuwan mengkaji dan mengembangkan bom atom
atau bahkan kloning. Jika kloning boleh pada hewan, kenapa tidak pada
manusia?
Yang
tidak boleh dilanggar menurut pandangan ini adalah nilai moral Ilmuwan: tidak
boleh plagiat, atau mengakui temuan orang lain sebagai temuannya, dan sejenisnya.
*
Banyak
kisah di awal tumbuhnya Ilmu Kedoteran utamanya terkait pembedahan organ
manusia yang kemudian menyoal masalah "bebas nilai" ini, yaitu
ketika sang Ilmuwan "melanggar etika" masyarakat demi
menumbuhkan Ilmu Pengetahuannya.
Maka,
misalnya, lahirlah kisah Frankenstein
yang ditulis Mary Shelley. Inti kisah ini hakikatnya mempertanyakan moralitas
ilmu bedah yang dimiliki oleh seorang dokter ketika melahirkan makhluk bernama
Frankenstein yang ia bangun dari potongan-potongan tubuh pasiennya.
*
Bagi mereka yang
menganut Ilmu Pengetahuan yang bebas nilai (free values), sikapnya
tegas: bahwa Ilmu Pengetahuan adalah untuk Ilmu Pengetahuan!
Ilmu Pengetahuan tidak boleh dikembangkan atas pertimbangan
lain di luar Ilmu Pengetahuan. Tujuannya adalah agar Ilmu Pengetahuan
tidak mengalami distorsi. Karena, jika demikian, mereka menghawatirkan
Ilmu Pengetahuan tidak bisa berkembang secara otonom.
Maka, untuk menghindari hal
itu, Ilmu Pengetahuan tidak boleh tunduk kepada otoritas lain di luar
Ilmu Pengetahuan. Ilmu Pengetahuan tidak boleh kalah terhadap pertimbangan
lain yang membuatnya menjadi tidak lagi murni.
Umumnya, para penganut
Positivist sejati memegang teguh hal ini.
*
Keadaan berbeda dengan
Ilmuwan Nonpositivist yang sejak awal sudah mengakui bahwa Ilmu Pengetahuan terkait
nilai. Apalagi, objek materia Ilmu Sosial – dan juga Ilmu Komunikasi di
dalamnya – adalah perilaku manusia. Maka, perilaku manusia sulit dilepaskan
dari nilai-nilai moralitas: pantaskan Anda selaku Ilmuwan Komunikasi yang
mengkaji teori jarum hypodermic lantas menguji pengaruh pornografi pada
anak dan remaja dengan metode eksperimen: mengumpulkan sejumlah remaja dalam
kelompok meksperimental dengan menyuguhi mereka terus menerus dengan tayangan
pornografi untuk mengetahui perilaku mereka sebelum menonton dan sesudah
menonton?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar